5 Tantangan Work-Life Balance di Tempat Kerja Modern dan Solusinya

5 Tantangan Work-Life Balance di Tempat Kerja Modern dan Solusinya

Menurut laporan terbaru dari Randstad yang mensurvei lebih dari 26.000 pekerja di 35 negara di Eropa, Asia Pasifik, dan Amerika, kini work-life balance telah melampaui gaji sebagai motivasi utama karyawan.

Dalam laporan yang sama, ternyata banyak karyawan yang memilih keluar dari pekerjaan ketika ekpektasi mereka tidak terpenuhi.

Hal ini menunjukkan bahwa sudah saatnya perusahaan untuk meninggalkan jadwal kerja yang kaku dan membangun budaya yang mengutamakan fleksibilitas serta keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Membantu karyawan mencapai work-life balance yang lebih baik adalah kunci untuk meningkatkan kesehatan mental dan fisik mereka, sekaligus membuat karyawan menjadi lebih betah bekerja di sebuah perusahaan.

Karena work-life balance inilah produktivitas, kepuasan kerja, dan kebahagiaan karyawan akan meningkat. Pada akhirnya akan berdampak positif bagi kinerja perusahaan secara keseluruhan.

Sebelum membahas lebih jauh, kami memberikan disclaimer bahwa mungkin saja tantangan ini memang harus ada di beberapa industri karena terkait dengan masalah keamanan dan keselamatan kerja, atau harus memenuhi persyaratan serta regulasi khusus di suatu industri.

Berikut ini adalah lima tantangan utama dari work-life balance beserta solusinya:

1. Batasan jam kerja yang mulai mengabur

Munculnya jadwal dan tempat kerja fleksibel seperti remote, hybrid, dan work-life integration memang membawa banyak keuntungan, tetapi juga memunculkan fenomena baru yaitu batasan jadwal kerja yang tidak jelas.

Konsep jam kerja yang fleksibel berorientasi pada hasil pekerjaan. Mudahnya, perusahaan yang menerapkan model kerja seperti ini tidak begitu peduli karyawannya datang dan pulang jam berapa. Perusahaan lebih peduli pada hasil pekerjaan mereka.

Sayangnya, fenomena ini kerap disalahartikan menjadi jam kerja yang panjang. Karyawan dituntut tidak boleh telat masuk kerja, namun "wajib" pulang telat.

Model kerja yang fleksibel kerap membuat karyawan harus selalu online dan merespons setiap pesan kapan saja, bahkan di luar jam kerja.

Akhirnya, batas antara jam kerja dan waktu pribadi menjadi kabur, sehingga karyawan sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaan. Akibatnya, karyawan bisa merasa burnout dan kelelahan yang akhirnya mengganggu produktivitasnya.

Solusi:

Untuk mengatasi tantangan ini, organisasi perlu mengedukasi bagaimana dampak negatif dari hal ini dan menghormati jam kerja semua karyawan. Hindari untuk mengontak di luar jam kerja kecuali mendesak, dan beristirahat lah tanpa rasa bersalah.

Tetapkan waktu khusus untuk berkolaborasi dan tegaskan adanya hak karyawan untuk memutuskan koneksi di luar jam kerja, manfaatkan juga teknologi seperti penjadwalan pesan, autoresponder, atau mode Do Not Disturb.

2. Tuntutan kerja yang tidak realistis

Beberapa organisasi memberikan ekspektasi kerja yang tidak realistis dengan dalih meningkatkan produktivitas. Tenggat waktu pun mungkin sangat ketat atau bahkan mengharapkan timnya menyelesaikan banyak tugas dalam waktu singkat.

Dalam beberapa kasus, ada juga yang berharap anggota timnya tetap merespons pesan dan menyelesaikan tugas tertentu saat sedang cuti. Banyak karyawan yang memilih diam dan menuruti tuntutan tersebut karena khawatir dengan konsekuensinya. Inilah yang menciptakan tekanan berlebihan dan sulit menjaga work-life balance.

Solusi:

Bagaimana cara mengatasinya? Cobalah untuk mempertanyakan kejelasan ruang lingkup kerja dan menetapkan tenggat waktu yang sebenarnya. Minta perusahaan untuk menetapkan ekspektasi yang jelas bagi karyawan sehingga tidak ada kesalahpahaman, serta pastikan distribusi pekerjaan merata di satu tim.

Bangun budaya terbuka di mana karyawan merasa aman membicarakan tantangan yang mereka hadapi. Anjurkan manajer untuk mendengarkan tanpa menghakimi dan menindaklanjuti keluhan yang valid dengan solusi yang tepat.

Baca juga: 

Apa Itu Metode Zettelkasten dan Bagaimana Cara Menerapkannya?

5 Alasan Beralih ke Software HR Zoho People

3. Strategi manajemen yang kaku dan tradisional

Manajemen tradisional dapat menghambat work-life balance secara signifikan, karena tidak sejalan dengan kebutuhan tenaga kerja modern.

Jadwal kerja tradisional 9-5 bisa membuat karyawan kesulitan menjaga kesimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, terutama karena diharapkan hadir secara fisik di kantor sepanjang hari.

Ada juga yang memaksa lembur untuk membuktikan bahwa mereka produktif. Akibatnya, jika karyawan ingin menetapkan batasan kerja yang jelas dan mengambil jeda istirahat, ada rasa ketakutan akan penilaian negatif dari lingkungan sekitarnya.

Lagi-lagi, mungkin di beberapa industri, terutama yang berkaitan dengan layanan publik, memang wajib menerapkan jam kerja yang kaku. Namun pasti ada cara lain untuk tetap menghormati kesejahteraan mental karyawan mereka.

Solusi:

Mungkin inilah saat yang tepat untuk beralih ke manajemen modern yang fokus pada fleksibilitas, hasil kerja, dan kepercayaan. Dorong manajer untuk menilai berdasarkan output dan kualitas setiap tugas, bukan pada lamanya waktu untuk bekerja.

Alih-alih jadwal kerja yang kaku, pertimbangkan juga untuk menerapkan jadwal yang fleksibel di mana karyawan dapat bekerja pada waktu yang paling produktif. Jika memungkinkan berikan kesempatan karyawan untuk bekerja di lokasi yang nyaman.

4. Hambatan bagi beberapa industri

Sayangnya, tidak semua industri mendukung untuk fleksibilitas jadwal kerja—seperti kesehatan, perhotelan, layanan makanan, manufaktur, dan konstruksi—karena tuntutan pekerjaan yang melekat.

Jam kerja yang panjang dan padat dapat menimbulkan tekanan serta stres berlebihan pada karyawan, sehingga berdampak pada keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi mereka.

Solusi:

Job sharing mungkin bisa menjadi salah satu cara efektif untuk membantu karyawan di beberapa industri tersebut untuk mencapai work-life balance yang lebih baik. Dengan membagi satu peran penuh untuk dua karyawan, mereka bisa bergantian mengambil jeda dan cuti dengan lebih mudah.

Selain itu, organisasi di industri-industri ini juga dapat mempertimbangkan sistem compressed work weeks, di mana karyawan bekerja dalam pola shift yang lebih terstruktur.

5. Kurangnya sumber daya dan alat teknologi yang memadai

Tanpa adanya sumber daya dan teknologi yang tepat, karyawan bisa mengalami tekanan karena bekerja manual dan berdampak pada work-life balance. Beban administratif yang muncul akibat pekerjaan manual dan penggunaan alat yang tidak efisien dapat memaksa karyawan untuk bekerja lebih lama.

Mereka mungkin akan menghabiskan banyak waktu pada tugas-tugas berulang sehingga menyita waktu yang seharusnya digunakan untuk pekerjaan yang lebih bermakna. Kurangnya dukungan yang memadai di tempat kerja juga dapat memengaruhi kesehatan mental karyawan.

Solusi:

Saat ini kita sudah memasuki era kerja yang didominasi oleh generasi yang sudah terbiasa menggunakan teknologi. Oleh karena itu, sudah seharusnya organisasi menerapkan tools yang mendukung otomatisasi untuk mempermudah pekerjaan.

Buat program upskilling secara rutin untuk membekali karyawan dengan keterampilan yang sesuai agar mereka dapat menjalankan tanggung jawabnya dengan baik. Lakukan audit secara berkala untuk mengidentifikasi proses yang tidak efisien, kemudian tingkatkan penggunaan tools yang lebih efektif.

Kesimpulan

Work-life balance berperan penting dalam meningkatkan kesehatan mental, mendorong produktivitas, serta mengurangi stres, sehingga karyawan menjadi lebih segar, fokus, dan efisien. Meski ada berbagai tantangan dalam mencapai keseimbangan ini, selalu ada solusi untuk mengatasinya!

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Kode bahasa komentar.
Dengan mengirimkan formulir ini, Anda setuju dengan pemrosesan data pribadi sesuai dengan Kebijakan Privasi.

Postingan Terkait